Sunday, November 26, 2023

VA Shiva Ayyadurai: Penemu EMAIL yang Kontroversial

VA Shiva Ayyadurai: Penemu EMAIL yang Kontroversial

18 Agustus 2017 pukul 09:43 EDT

VA Shiva Ayyadurai menerima Hak Cipta Amerika Serikat pada tahun 1982 yang memberinya penghargaan sebagai Penemu EMAIL, gelar yang diperolehnya saat berusia 14 tahun sebagai peneliti di Universitas Kedokteran dan Kedokteran Gigi di Newark, New Jersey.

Dia mengatakan dia menerima sertifikat hak cipta pada tanggal 30 Agustus 1982, bukan paten, karena paten tidak diberikan kepada penemuan perangkat lunak pada saat itu.

Namun, ia mengatakan bahwa ia terpaksa membela ciptaannya dalam serangkaian kasus pengadilan tingkat tinggi dan debat media publik yang sangat seru, yang berasal dari para pesaing yang iri dan jurnalis yang tidak menghormatinya karena ia adalah seorang ilmuwan berkulit gelap kelahiran India. .

Ayyardurai, yang lahir di India, bermigrasi ke Amerika Serikat ketika ia berusia tujuh tahun, dibesarkan di New Jersey, lulus dari Livingston High School di Livingston, New Jersey, ketika ia berusia 14 tahun dan melanjutkan untuk mendapatkan empat gelar terpisah di MIT.

Kepemilikannya atas hak cipta EMAIL tetap terkubur di arsip federal hingga tahun 2012 ketika The Smithsonian Institute secara resmi meminta materi penelitiannya kepada Ayyadurai agar dapat ditampilkan di Museum Nasional Sejarah Amerika (NMAH).

“Ketika berita akuisisi tersebut dipublikasikan, Shiva diserang dengan kejam dengan niat yang jelas dan jahat untuk menghancurkan karir dan reputasinya sebagai penemu dan ilmuwan,” kenang Dr. Leslie P. Michelson, yang merupakan direktur High Performance and Research Computing. Divisi di Rutgers Medical, dan mentor Ayyadurai saat pertama kali membuat program perangkat lunak EMAIL miliknya.

Dan Smithsonian tidak pernah memamerkan karya Ayyadurai.

Ayyardurai telah melawan. Dia memenangkan gugatan hukum senilai $750.000 dari Gawker Media sebelum majalah online tersebut bangkrut dan baru-baru ini mengajukan gugatan pencemaran nama baik senilai $15 juta terhadap Techdirt.

“Saat saya di MIT, saya adalah seorang mahasiswa yang baik, teladan, minoritas,” kata Ayyardurai dalam siaran Percakapan dengan Allan Wolper WBGO. “Tetapi konsep seorang imigran India yang membuat Email di Newark, New Jersey mengejutkan banyak orang. Dan kaum liberal kulit putih yang melakukan hal ini bahkan tidak menyadari bahwa mereka rasis.”

Dr Michelson berharap VA Shiva Ayyardurai suatu hari nanti akan menerima haknya dan para pengkritiknya akan berhenti mengejeknya.

“Pada tanggal 30 Agustus 1982, VA Shiva Ayyadurai menerima pengakuan resmi sebagai penemu email dari pemerintah AS atas penemuannya pada tahun 1978,” kata Dr. Michelson dalam pengantar buku berjudul “The History of Email.”

Omong-omong, Ayyadurai berencana mencalonkan diri sebagai Senat Amerika Serikat di Massachusetts. Dia akan mencalonkan diri dalam pemilihan pendahuluan Partai Republik pada tahun 2018. Jika dia memenangkan nominasi, dia mengatakan dia akan mencalonkan diri sebagai “Republik Lincoln” dalam pemilihan umum melawan Senator Elizabeth Warren.


Sumber :

https://www.wbgo.org/show/conversations-with-allan-wolper/2017-08-18/v-a-shiva-ayyadurai-the-controversial-inventor-of-email

The Nanny Menikah dengan Pencipta E-mail

Fran Drescher `The Nanny` Menikah dengan Pencipta E-mail

08 Sep 2014, 14:10 WIB

Fran Drescher, yang bagi kita di Indonesia dikenal lewat serial komedi The Nanny, kini membintangi serial Happily Divorced. Namun, di kehidupan nyata Fran baru saja menikah. She is now happily married.

Perwakilan Fran mengkonfirmasi kabar bahagia ini pada People, Minggu (7/8/2014). Fran dinikahi Dr. Shiva Ayyadurai di rumah yang mereka tinggali bersama hanya dihadiri teman dekat dan kerabat.

Saat menikah, Fran Drescher memakai gaun rancangan Badgley Mischka, sedang Dr. Shiva mengenakan jas rancangan Ralph Lauren.

Suami Fran, Dr. Shiva Ayyadurai, 50 tahun, adalah seorang pelopor teknologi informasi yang kita nikmati hari ini. Suami Fran adalah pencipta mengirim surat elektronik via jaringan Internet yang dinamakan "electronic mail" atau e-mail.

Laman Huffington Post melansir, pada Agustus 1982, kantor paten pemerintah Amerika Serikat menerima pengajuan hak paten dari pria keturunan India bernama V.A. Shiva Ayyadurai yang waktu itu masih muda. Ia baru saja menemukan metode berkirim surat antar kantor yang dinamakannya "email".

Setahun lalu, Fran dan Shiva bertemu dalam sebuah acara talk show yang dipandu Deepak Chopra. "Fran mendengar saya bicara dan kami jatuh cinta saat itu juga, sejak itu kami selalu bersama," kata Dr. Shiva. "Setiap hari adalah perayaan bersama Fran. Setiap hari rasanya sangat romantis bersamanya. Kami selalu tertawa, selalu menikmati hari kami."

Sebelum menikah dengan Dr. Shiva, Fran Drescher, 56 tahun, kawin dengan Peter Marc Jacobson, rekan produsernya, selama 21 tahun. Mereka bercerai tahun 1999 setelah Jacobson mengaku gay.(Ade/Mer)


Sumber :

https://www.liputan6.com/showbiz/read/2102345/fran-drescher-the-nanny-menikah-dengan-pencipta-e-mail?page=3

Shiva Ayyadurai, Sang Penemu Email

Shiva Ayyadurai, sang penemu email yang terlupakan
27 Jul 2016

Shiva Ayyadurai, sang penemu email yang terlupakan Shiva Ayyadurai, sang penemu email. © mensxp.com

Mungkin tak pernah ada yang menyangka namun penemu email adalah seorang pria India bernama VA Shiva Ayyadurai. Tak bisa dipungkiri, sang penemu yang sangat berjasa bagi kita saat ini, terutama para pengguna smartphone dan pekerja kantoran dan mahasiswa yang butuh koordinasi secara cepat, ternyata telah dilupakan oleh masyarakat.

Bahkan, seorang pria India Amerika ini menemukan sistem email ketika dia hanya berumur 14 tahun. Sangat berprestasi untuk anak yang di umur sekian biasanya masih sedang dalam proses pencarian jati diri.

Tepat tahun ini dan di bulan ini, email sudah hidup selama 32 tahun. Untuk memperingatinya, yuk kita simak kisah hidup dari ilmuwan yang tak banyak dikenal orang ini.

Lahir dari keluarga Tamil di Bombay, India, di umur 7 tahun dia harus pergi dari India untuk mencari kehidupan yang lebih baik di Amerika Serikat. 7 Tahun berada di Amerika, Ayyadurai yang seorang siswa Livington High School di New Jersey, mulai mengerjakan sistem email untuk University of Medicine and Dentistry of New Jersey. Kala itu, tugasnya hanyalah meniru sistem surat menyurat yang masih berbasis dokumen kertas menjadi sebuah software.

Sebuah sistem tersebut dia sebuah sebagai 'EMAIL.' Sistem surat-menyurat antar kantor juga diubahnya menjadi digital, lengkap dengan fitur Inbox, Outbox Folder, Memo, Attachment terinspirasi dari lampiran yang dijepit dengan penjepit kertas, serta Address Book. Fitur ini juga masih dipakai hingga saat ini.

Setelah itu, dia membuat sebuah versi elektronik dari sistem ini, dengan lebih dari 50.000 kode yang ia tulis. Dengan ini dia berhasil untuk mereplikasi sistem surat menyurat antar kantor secara elektronik.

Pada 30 Agustus 1982, Pemerintah Amerika Serikat secara memperkenalkan Ayyadurai sebagai penemu email, dengan memberinya US Copyright untuk Email, dari penemuannya tahun 1978 tersebut. Meski demikian, namanya sudah dilupakan orang saat ini.


Sumber :
https://www.merdeka.com/gaya/shiva-ayyadurai-sang-penemu-email-yang-terlupakan.html

Teori Konspirasi Tentang PCR Test

Teori Konspirasi Paling Vokal di Internet Soal Akurasi PCR Test

Senin, 06 Jul 2020 16:50 WIB

Teori konspirasi terkait virus Corona terbaru yang paling vokal dari Dr Shiva (Foto: Tech Startups)


PCR Test atau kita kenal sebagai swab test adalah cara yang dianggap memberikan tingkat deteksi virus corona yang jauh lebih tinggi dibanding rapid test. Namun pandangan ini berbeda dengan Dr VA Shiva Ayyadurai, MIT. PhD, yang disebut netizen sebagai teori konspirasi.

Dr Shiva adalah seorang ilmuwan yang memegang empat gelar dari Massachusetts Institute of Technology (MIT). Ia menyatakan secara singkat bahwa PCR Test adalah hal yang tidak bisa dijadikan patokan untuk mendeteksi virus SARS-CoV-2.

"Yang didapat dari PCR Test adalah mereka mengambil sampel dari dalam hidungmu dan sampel yang keluar berupa lendir dan sebagainya. Apa yang mereka cari jika ada virus corona akan terdapat rantai urutan RNA. Mereka mendapatkan yang mereka sebut 'primer'. Sesuatu yang mereka kira sama dengan COVID-19. Semacam mencocokkan pola. Kemudian mereka menemukan kecocokannya di sini, maka kamu dinyatakan positif," katanya dalam suatu perbincangan di YouTube.

Lantas ia membawa penemu PCR Test, Kary Mullis yang mana merupakan pemenang Nobel di bidang kimia bahwa Mullis sudah memperingatkan bahwa metode ini tidak untuk mendeteksi virus melainkan nucleic acid.

"PCR bukan bersifat kuantitatif melainkan kualitatif. Jadi, primer yang mereka cari bersifat probabilistik, tidak definitif. Jadi hanya karena hasil test-nya positif bukan berarti kamu terkena virus tersebut. Bukan berarti tidak ada virusnya, tapi ini disusupi kepentingan bagi Amerika dan seluruh dunia," tuduh Shiva.

Dr Shiva memang dikenal vokal dalam membicarakan terkait virus corona atau COVID-19 di berbagai media bahkan media sosial miliknya. Sosoknya dikenal kontroversial dan kerap membahas teori konspirasi. Kritiknya soal akurasi PCR Test pun bagi sebagian kalangan dianggap sebagai konspiratif.

Lantas sebenarnya apa itu PCR Test? Mengapa keakuratannya menjadi hal yang cenderung dipertanyakan. Mari kita belajar lebih dalam soal metode ini.

PCR atau polymerase chain reaction atau RT-PCR (real time polymerase chain reaction) menggunakan sampel usapan lendir dari hidung atau tenggorokan. Lokasi ini dipilih karena menjadi tempat virus berreplikasi.

Ahmad Rusdan Handoyo Utomo PhD, Principal Investigator, Stem-cell and Cancer Research Institute, menjelaskan bahwa rapid test bisa memberikan hasil 'false negative' yakni tampak negatif meski sebenarnya positif. Ini terjadi bila tes dilakukan pada fase yang tidak tepat.

"Data antibodi tidak selalu bersamaan dengan data PCR. Ketika data PCR menunjukkan virus RNA terdeteksi, kadang-kadang antibodi belum terbentuk," ujarnya.

Kemungkinan false negative ini juga disinggung oleh juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto.

"Hanya masalahnya bahwa yang diperiksa immunoglobulin-nya maka kita butuh reaksi immunoglobulin dari seseorang yang terinfeksi paling tidak seminggu karena kalau belum seminggu terinfeksi atau terinfeksi kurang dari seminggu pembacaan immunoglobulin-nya akan menampilkan gambaran negatif," kata Yuri.

Terlepas dari argumen Shiva yang dianggap sebagian orang sebagai teori konspirasi, sejauh ini memang belum ada yang bisa memberikan keakuratan 100% mengenai deteksi suatu virus karena selalu ada error meski kecil peluangnya. Jika mengalami gejala COVID-19, tak ada salahnya untuk segera mengunjungi rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut.


Sumber :

https://inet.detik.com/science/d-5082095/teori-konspirasi-paling-vokal-di-internet-soal-akurasi-pcr-test.