Tuesday, April 9, 2024

Ada Apa dengan Tupperware?

Tupperware: Dari Ketinggian Puncak ke Jeram Kegagalan.

Tupperware, sebuah ikon dalam dunia peralatan dapur, pernah menjadi nama yang disegani di setiap rumah tangga. Namun, seperti yang sering terjadi dalam dunia bisnis, kejayaan bisa berubah menjadi kejatuhan dalam sekejap mata. Barang-barang plastik mereka yang ikonik, yang dianggap sebagai simbol modernitas dan kepraktisan, telah meredup dan sayup. Saat ini, berita terbaru yang menggema adalah kebangkrutan Tupperware, yang menandai akhir dari era kejayaan yang panjang.

Merek tupperware sudah dikenal luas sebagai ‘rajanya’ wadah plastik penyimpanan makanan. Sedemikian terkenalnya, merek itu digunakan untuk menyebut wadah plastik apapun. Kini, perusahaan itu berada di ambang kebangkrutan.

Masa Kejayaan.

Ketika Earl Tupper menciptakan wadah penyimpanan plastiknya yang revolusioner pada tahun 1946, ia tidak menyadari bahwa ia sedang memulai perjalanan menuju sukses yang luar biasa. Produknya yang inovatif, yang dikenal karena segel udara yang rapat dan tahan lama, segera mendapatkan popularitas di kalangan ibu rumah tangga Amerika. Dengan menggunakan teknik penjualan langsung yang inovatif, Tupperware menjadi simbol gaya hidup modern pada masa itu.

Perusahaan itu pertama didirikan oleh seorang pria bernama Earl Tupper. Namun, duta mereknya adalah seorang perempuan bernama Brownie Wise.

Produk buatan Tupper menjadi inovasi baru, yakni menggunakan plastik untuk membuat makanan tetap tahan lama. Khususnya, pada zaman itu ketika kulkas masih terlalu mahal buat kebanyakan orang. Tetapi, sebelum kedatangan Wise, produk itu kurang laris.


Kejatuhan yang Tak Terduga.

Namun, seperti halnya banyak perusahaan besar lainnya, Tupperware juga harus berhadapan dengan tantangan yang tak terduga. Di tengah-tengah perubahan gaya hidup dan preferensi konsumen yang berubah, Tupperware mulai kehilangan daya tariknya. Kemunculan alternatif yang lebih murah dan lebih fleksibel di pasaran, bersama dengan perubahan pola belanja konsumen, telah merusak model bisnis yang telah sukses selama bertahun-tahun.

Perusahaan berbasis Amerika Serikat yang sudah berusia 77 tahun itu mulai melihat timbulnya retakan dalam model bisnis revolusionernya. Utang yang kian menumpuk serta penjualannya yang merosot membuat manufaktur wadah kedap udara itu terancam bangkrut jika tidak ada investor yang mendanai.

Meski perusahaan itu sudah berupaya untuk memasarkan produknya dengan gaya baru kepada generasi-generasi muda, penjualannya tetap tidak bisa didongkrak.


Tantangan Perubahan.

Upaya Tupperware untuk mengikuti perubahan tren dan memperbarui citra merek mereka terbukti tidak memadai. Meskipun mereka mencoba untuk memperluas lini produk mereka dan berinvestasi dalam pemasaran digital, mereka gagal menarik generasi baru konsumen dengan cara yang memadai. Selain itu, tantangan terbesar datang dalam bentuk pandemi global yang memaksa pergeseran besar-besaran dalam cara orang berbelanja dan berinteraksi dengan merek.

Tupperware ”gagal beradaptasi dengan perubahan zaman” dari segi produk maupun distribusinya. Saunders menekankan metode penjualan langsung lewat acara-acara berkumpul ”tidak terhubung” dengan pelanggan muda maupun pelanggan tua.

Tak hanya itu, para konsumennya yang lebih muda cenderung memilih produk-produk yang lebih ramah lingkungan seperti menggunakan kertas beeswax atau lilin lebah yang ramah lingkungan untuk menjaga makanan tetap segar, tambahnya.


Akhir dari Era.

Ketika Tupperware menyatakan kebangkrutan, itu bukan hanya akhir dari sebuah perusahaan, tetapi juga akhir dari era di mana produk plastik tahan lama ini merajai ruang dapur. Meskipun Tupperware mungkin tetap akan dikenang sebagai ikon dalam sejarah peralatan rumah tangga, kebangkrutan mereka menunjukkan betapa cepatnya perubahan dapat meruntuhkan bahkan perusahaan terbesar sekalipun.

Meskipun Tupperware disebut sebagai “produk mukjizat“ pada awal peluncurannya beberapa dekade yang lalu, Shuttleworth menambahkan sekarang pasar itu dipenuhi dengan perusahaan-perusahaan yang menawarkan alternatif yang lebih murah dalam beberapa tahun terakhir.

Penjualan Tupperware sempat meningkat tajam di kala pandemi Covid-19, dengan kebanyakan masyarakat lebih memilih untuk memasak dan menyimpan makanan di rumah. Tetapi, peningkatan itu ternyata hanya bersifat sementara.

Penjualan sudah semakin menurun sejak itu, terutama karena perusahaan itu “kurang inovatif“ dalam 10 sampai 20 tahun terakhir. Sehingga, mereka kalah dengan kompetitor-kompetitor, ungkap Shuttleworth.


Pelajaran yang Bisa Dipetik.

Kisah Tupperware mengajarkan kita bahwa di dunia bisnis yang cepat berubah, tidak ada yang benar-benar abadi. Bahkan perusahaan dengan reputasi sehebat apa pun harus terus beradaptasi dan berevolusi untuk tetap relevan. Pentingnya mendengarkan dan merespons perubahan dalam perilaku dan preferensi konsumen tidak bisa diabaikan.


Dengan demikian, sementara kita mengucapkan selamat tinggal pada Tupperware, kita juga harus merenungkan pelajaran berharga yang bisa kita ambil dari kejatuhannya.


Sumber :

https://www.bbc.com/indonesia/articles/c4nzv89nywlo#:~:text=Istilah%20Tupperware%20sudah%20menjadi%20sangat,untuk%20wadah%20plastik%20kedap%20udara.&text=Merek%20tupperware%20sudah%20dikenal%20luas,untuk%20menyebut%20wadah%20plastik%20apapun.

No comments:

Post a Comment